cermis

Akarasa – Selamat datang kerabat akarasa. Cerita ini adalah adopsi dari cerita kolega saya yang boleh dibilang masih keluarga trah nata. Kejadiannya sudah lama berlalu. Lebih dari 20 tahun lalu. Lama baget toh. Tulisan ini memakai gaya bahasa pengakuan, seakan saya atau sampeyan sendiri yang mengalami peristiwa tersebut.
Hujan abu masih belum pudar, setelah Merapi batuk dan muntah-muntah sepekan yang lalu. Permukaan dedaunan, rerumputan, jalanan, serta atap-atap rumah tampak masih kelabu. Suasana Jogja masih terasa mencekam malam itu. tak seorang pun tampak berkeliaran di luar rumah. Menutup pintu rapat-rapat.
Darrr! Meski terdengar lirih, bunyi ini membuat saya tersentak kaget dari baca novel epos yang masih menyisakan beberapa halaman lagi. Seketika itu juga saya letakkan buku, terlihat pada jam dinding malam sudah sangat larut. Jam 1 malam lebih sekian.
Darrr! Bunyi itu terdengar lagi, kembali mengagetkan saya (sambil berusaha mencari sumber suara). Tiba-tiba, Darrr!.. Darrr!.. Darrr! Bunyi itu terdengar tiga kali. Tak ayal, suara ini membangkitkan penasaran untuk mencari sumber bunyi itu.
Darr! Sekali lagi bunyi itu sayup-sayup terdengar, saya merasa yakin kalau bunyi itu berasal dari rumah tua yang ada di samping rumah. Rumah tua jaman peninggalan Belanda yang sudah berpuluh-puluh tahun tidak ditempati yang sebagian atapnya sudah runtuh karena lapuk. Banyak cerita seram yang sering diceritakan orang-orang tentang rumah itu. Namun itu semua justru membuat saya membuat penasaran.
Dengan hanya berbekal senter saya beranikan diri untuk mendekati rumah tua itu, rasa penasaran mengalahkan rasa takut malam itu. Sampai pada di depan pintu rumah tua itu, pintu yang tertutup debu merapi itupun saya coba membukanya. Meski setengah hati. Susah pada awalnya, mungkin karena berpuluh tahun tak pernah tersentuh.
Darrr! Suara itu terdengar lagi, kali ini sangat keras. Menyurutkan langkahku. Beberapa saat saya hanya berdiri mematung. Antara berani dan tidak. Sejenak hening. Setelah saya menguasai kekagetan, sekali lagi saya dorong pintu tersebut dengan sekuat tenaga, kali ini berhasil, bunyi engsel berderit serupa rintihan orang yang terkilir.
Perlahan, bahkan berjingkat saya masuki rumah tua tersebut. Hal pertama yang saya rasakan adalah bau yang sangat menyengat di dalam rumah itu, beberapa kali saya bersin hingga memaksa saya harus mengamankan indera penciuman saya dari sergapan bau apek yang berdebu tersebut.
Saya sorotkan senter ke seluruh ruangan. Kosong, tak ada satupun peralatan rumah yang tersisa, yang ada hanya tumpukan debu dan sepihan kayu plafon yang mulai rapuh. Saya beranikan diri untuk untuk melintasi ruang utama rumah itu. Lantai berdenyit seiring saya menapaki jengkal demi jengkal ruangan itu. Ruang utama yang sangat luas apabila dibandingkan dengan rumah tempat saya ngekost. Di sebelah kiri ruang utama itu terdapat dua pintu yang bersebelahan.
Pasti ini salah satu pintu ruangan kamar yang menghadap kearah rumah tempat saya ngekost, kataku dalam hati. Di sebelah kanan ruang utama itu ada tangga menuju ke lantai atas dan sebuah pintu di sebelah tangga itu. Dan lurus persis didepan saya adalah koridor yang menuju ke bagian belakang rumah itu. Saya pilih untuk menaiki tangga, baru saja saya hendak menaiki tangga itu, saya mendengar suara yang anak perempuan memanggil nama seseorang dari belakangnya;
“Dhika..” suara mengagetkan ini sontak membuat saya membalikan badan, saya disorotkan senter ke seluruh ruangan utama rumah itu. Tidak nampak seorangpun di situ. Rasa penasarannya semakin menjadi. Tiba-tiba ada sebuah bayangan dari sinar senter. Bayangan tersebut seperti berlari memasuki koridor yang menuju ke bagian belakang rumah itu. Saya kejar bayangan tersebut, saya merasa sangat yakin kalau saya tidak salah dengar, ada seseorang memanggil nama seseoarang.
Raphael terus berlari melewati koridor rumah tua tersebut, hingga akhirnya ia sampai ke ruang dapur yang berada dibelakang rumah itu. Sebuah pintu yang mengarah ke halaman belakangyang berbatasan dengan rumah besar dibelakangnya dalam kondisi terbuka. Aneh pikirnya, kenapa pintu ini terbuka? Bertahun-tahun rumah tua ini tidak ditempati tetapi pintu dapur ini terbuka.
“Raphael..” suara panggilan itu terdengar kembali. Sekali lagi Raphael membalikan badannya dengan cepat. Kali ini dilihatnya sosok anak perempuan kecil dengan rambut panjang, berbaju putih tanpa memakai alas kaki didepannya. Apakah ini yang namanya hantu?, pikir Raphael.
“Siapa kamu?” Tanya Raphael dengan suara bergetar. Sosok anak perempuan itu tidak menjawab, ia hanya menunjukan tangannya ke arah pintu yang terbuka itu. Raphael melihat ke arah yang ditunjukan, begitu ia berpaling kembali kepada sosok anak perempuan tadi, ternyata sosok itu sudah menghilang. Rasa takut mulai dirasakan Raphael, perlahan ia keluar ke halaman belakang rumah tersebut melalui pintu yang terbuka tersebut.
“Apa yang kamu coba tunjukan kepadaku?” tanya Raphael dalam hati. Begitu ia keluar dari pintu tersebut, tiba-tiba DAARRR..!!! pintu dapur itu tertutup sangat kencang. Raphael terkejut luar biasa dan terhempas ke atas rumput halaman belakang. Senter yang ia pegang terlempar entah kemana dan mati, keadaan menjadi gelap. Kini ia merasa sangat takut, ingin ia berlari pulang namun kakinya terasa berat, ia tidak dapat bergerak dan hanya terbaring diatas rumput.
Suasana hening dan gelap untuk beberapa saat, Raphael merasa kalau sesaat itu seperti sangat lama. Perlahan ia mulai dapat menguasai dirinya dari perasaan takut. Kakinya sudah mulai dapat digerakan. Dengan kaki yang masih bergetar, Raphael perlahan bangkit berdiri. Hal pertama yang dipikirkannya adalah ia mau pulang ke rumahnya. Dengan setengah berlari, Raphael menyusuri halaman rumah itu dan melompati pagar pembatas rumah dengan susah payah. Ia berhasil sampai dirumahnya kembali dan masuk kekamarnya.
Dilihatnya jam dinding yang menunjukan jam 3:15 pagi. Pikirannya masih terbayang akan sosok anak perempuan berambut panjang itu, siapa dia? Rumah tua yang berada disebelah rumahnya tersebut semakin menjadi misteri bagi dirinya dan ia akan mencari tahu tentang hal itu.
Sosok anak kecil berambut panjang itu muncul kembali, ia mendekati Raphael. Raphael coba untuk berlari namun kakinya tidak dapat bergerak. Sosok ini semakin dekat dan semakin kuat lagi Raphael coba berlari. Dirasakan tangan sosok itu memegang lehernya, “Raphael.. Raphael.. ayo bangun, sudah siang..!!”. Suara itu membangunkan Raphael, ternyata ibunya membangunkan dia.
 “Ayo bangun, lihat matahari sudah tinggi, walaupun hari ini kamu libur tapi tetap saja harus bangun pagi..” ibunya melanjutkan sambil menarik selimut yang menutupi badan Raphael. “Ternyata mimpi”, kata Raphael dalam hati. Dilihatnya jam dinding yang menunjukan jam 8. Tidak disadari ia tertidur.
“Cepat mandi, sarapan sudah ada di meja makan… oh ya, hari ini kakek pulang, tadi ia telepon katanya sudah dijalan menuju ke sini” lanjut ibunya berkata sambil merapikan baju-baju yang berserakan di lantai.
“Kakek!! “ seru Raphael dalam hati.
“Ya, kakek!! Aku akan menanyakan ke kakek tentang sejarah rumah tua disebelah”.
Memang kakeknya adalah salah seorang yang sudah berpuluh-puluh tahun tinggal di daerah ini. Raphael dan ibunya tinggal bersama kakeknya sejak ayahnya harus bekerja diluar kota. Raphael langsung bangun dan menuju ke kamar mandi untuk mandi. Setelalah mandi, Raphael langsung sarapan sambil menonton TV. Kartun kegemarannya sedang ditayangkan.
Tidak lama setelah sarapan, sebuah taksi berhenti di depan rumahnya, seorang kakek turun dari taksi itu membawa sebuah tas dan sebuah kantong plastik.
“Bu.. kakek datang” teriak Raphael memberitahukan kepada ibunya.
Ibunya keluar dari dapur dan bersama dengan Raphael mereka menyambut kakek di ruang tamu. Tidak lupa Raphael mencium tangan kakek. Ibunya juga mencium tangan kakek dan mengambil tas yang dibawa kakek dan dibawa ke dalam kamar.
“uuh.. kamu kalau kakek pulang dari rumah tante Yuli pasti kamu sambut kakek dengan semangat” kata kakek kepada Raphael.
Raphael tersenyum lebar mendengar itu; “mana kue-kue untuk aku, kek?”. Raphael tau kalau kakek pulang dari rumah tante Yuli pasti bawa kue-kue buatan tante Yuli untuknya. Tante Yuli adalah adik dari ibu Raphael. Tante Yuli senang memasak, terutama kalau dalam membuat kue, tante Yuli juaranya, dan kalau Raphael pulang dari rumah tante Yuli pasti disiapkan sekotak kue untuknya dibawa pulang.
Kakek tertawa mendengar hal itu dan mengeluarkan sekotak kue dari kantong plastik yang dibawanya. Raphael langsung mengambil kue itu dan duduk sambil mulai memakan kue itu. Tidak menyia-nyiakan kesempatan ia langsung menarik tangan kakeknya untuk duduk disebelahnya dan mulai bertanya kepada kakeknya tentang sejarah rumah tua disebelah.
“Kek, rumah tua disebelah sudah berapa lama usianya?” tanya Raphael kepada kakeknya.
“Waaahh.. sudah lama”, kakek terdiam sejenak Nampak sedang mencoba mengingat-ingat.
“Kalau tidak salah sejak tahun 1930an. Sejak jaman penjajahan Belanda, rumah itu sudah dibangun” lanjut kakek.
“Apa kakek tahu sejarah rumah itu?” Raphael lanjut bertanya.
 “Tolong ambilkan minum terlebih dahulu untuk kakek, nanti kakek akan ceritakan tentang rumah tua disebelah itu” kata kakek meminta kepada Raphael.
Raphael langsung loncat dan bergegas ke dapur. Tidak berapa lama ia sudah kembali dengan segelas air untuk kakek.
“Rumah tua disebelah itu sudah ada sejak kakek pindah dirumah ini tahun 1951” kata kakek mengawali ceritanya.
“Waktu itu, rumah disebelah dihuni oleh keluarga Van Ross dari Belanda secara turun temurun. Keluarga besar Van Ross yang terakhir kakek tahu, mempunyai 6 orang anak. Kakek kenal dengan anak-anak mereka, khususnya si Benyamin Van Ross anak ke 6 sebab umur kakek dan umurnya tidak berbeda jauh. Tahun 1959, ayah dari Benyamin meninggal dunia karena sakit, dan dua tahun kemudian ibunya meninggal karena sakit juga.
Sepeninggalan orang tua Van Ross, anak-anaknya mulai berselisih tentang rumah mereka. Ada yang bilang dijual saja tapi Benyamin bersikeras untuk tidak mau menjual rumah itu. Anak-anak Van Ross ini sebetulnya tidak kerasan tinggal di Indonesia kecuali Benyamin si bungsu. Mereka ingin menjual rumah peninggalan orang tua mereka dan memakai uang hasil penjualan rumah itu untuk pulang ke Belanda.
Tetapi Benyamin bersikeras tidak mau menjual rumah itu, ia berkata kepada kakak-kakaknya kalau ia akan tetap tinggal di rumah itu selamanya. Setelah lama bertengkar soal rumah itu. Akhirnya mereka sepakat untuk meninggalkan Benyamin sendirian bersama rumah itu dan mereka semua kembali ke Belanda”.
Kakek berhenti sejenak dan meneguk minumannya, lanjut kakek; ”Waktu itu Benyamin baru mulai bekerja sebagai seorang dokter muda. Ia tinggal sendirian di rumah itu, namun ia tidak merasa kesepian sebab kakek selalu menemaninya. Karirnya sebagai dokter pun bisa dibilang sukses. Seorang dokter muda, sukses dan kaya raya.
Hingga tahun 1971, Benyamin Van Ross menikah dengan seorang perempuan Indonesia yang bekerja sebagai perawat di rumah sakit tempat Benyamin bekerja. Kakek yang mendampingi Benyamin menikah dengan Dewi. Dewi juga yang mengenalkan kakek dengan nenekmu yang juga bekerja sebagai perawat di rumah sakit itu. Kakek dan nenek akhirnya menikah dua tahun kemudian”, kakek berhenti sejenak dan melanjutkan; “ Hidup Benyamin dan Dewi sangat bahagia, bisa dibilang tidak pernah berkekurangan. Tahun 1974 mereka dikaruniai seorang anak perempuan dan mereka namakan Sonya. Seorang anak perempuan yang cantik, berambut panjang, berkulit putih”.
Raphael terkejut mendengar hal itu, sosok Sonya yang diceritakan oleh kakeknya mirip dengan sosok yang ia lihat semalam di rumah tua sebelah. Raphael melihat wajah kakeknya yang tiba-tiba berubah sedih; “ada apa, kek?” tanya Raphael.
“Malam itu, 23 Juli 1981 mereka merayakan ulang tahun Sonya yang ke 7, kakek, nenek dan ibu-mu yang waktu itu masih berusia 5 tahun diundang untuk merayakan pesta ulang tahun itu. Kakek ingat Benyamin memberikan Sonya sebuah boneka beruang. Sonya sangat senang menerima hadiah itu dari papa-nya.
Jam 8 malam, kakek dan nenek serta ibu-mu pulang dari rumah mereka. Itulah saat terakhir kami bertemu dengan keluarga Benyamin Van Ross. Karena besok paginya ketika kakek akan berangkat bekerja, kakek melihat pintu rumah mereka terbuka dan bau tidak sedap keluar dari dalam rumah itu. Perasaan kakek sangat tidak enak saat itu, segera kakek berlari masuk ke dalam rumah itu. Kakek sangat terkejut melihat keadaan rumah itu yang berantakan, kursi-k ursi terbalik dilantai. Kakek menemukan tubuh Benyamin Van Ross dan tubuh Dewi di dalam kamar mandi bersimbah darah, namun Sonya tidak ada bersama mereka.” Kakek berhenti sejenak, menarik nafas dan melanjutkan ceritanya kembali dengan suara sedih,
“kakek berteriak memanggil Sonya, namun tidak ada balasannya, kakek berlari menaiki tangga dan melihat ke kamar Sonya, namun ia tidak ada, kakek buka seluruh kamar di lantai atas namun Sonya tidak ada, yang ada adalah seluruh ruangan dalam keadaan berantakan. Kakek kembali berlari ke bawah, sambil berteriak memanggil Sonya, saat itulah nenek-mu masuk ke rumah itu sambil menggendong ibu-mu. Nenek-mu terlihat panik melihat rumah itu dalam keadaan berantakan. Kakek teriak ke nenek-mu untuk memanggil polisi. Kakek terus membuka kamar-kamar di lantai bawah sambil berteriak memanggil Sonya. Kakek menyusuri koridor yang mengarah ke dapur. Begitu sampai di dapur, kakek sangat terkejut, disitulah kakek menemukan tubuh Sonya bersimbah darah dekat pintu belakang yang menuju ke halaman belakang. Saat ditemukan, Sonya mengenakan baju piyama putih panjang dengan memegang boneka beruang hadiah ulang tahun dari papanya. Baju itu penuh dengan lumuran darah. Tetangga mulai berdatangan memasuki rumah itu dan terkejut melihat kondisi rumah itu. Tidak berapa lama polisi datang. Mereka menyuruh kami semua keluar dari rumah itu. Kakek dibawa ke kantor polisi untuk dimintai keterangan. Pulang dari kantor polisi, kakek masih menyempatkan kembali ke rumah itu dan mendapatkan kalau jenazah Benyamin, Dewi dan Sonya sudah tidak ada lagi, hanya lumuran darah yang masih tersisa dikamar mandi dan di dapur. Para tetangga bilang kalau jenazah mereka sudah dibawa ke rumah sakit menggunakan ambulance. Hari itu kakek kehilangan teman baik kakek.” Raphael semakin terkejut mendengar cerita kakek, khususnya waktu kakeknya bercerita tentang sosok Sonya yang ditemukan di ruang dapur dekat dengan pintu yang menuju ke halaman belakang dengan mengenakan baju putih panjang. Di situ juga Raphael terakhir melihat sosok Sonya semalam. “Lalu apa yang terjadi dengan rumah itu selanjutnya?” tanya Raphael kembali. Kakeknya menjawab; “Selama tiga hari setelah kejadian, polisi masih mendatangirumah itu untuk penyelidikan dan membawa beberapa barang dari rumah itu. Kakek sempat bertanya kepada polisi yang menyelidiki kejadian itu. Mereka bilang kalau keluarga Van Ross dirampok. Barang-barang berharga seperti uang, jam tangan, gelang dan kalung semuanya hilang. Benyamin dan Dewi dibunuh dengan senjata tajam dan diseret ke dalam kamar mandi hingga mereka berdua tewas disitu. Sedangkan Sonya, polisi menyimpulkan kalau Sonya hampir meloloskan diri dengan berlari melalui pintu belakang, namun belum sempat ia keluar dari pintu itu, salah satu perampok memukul kepalanya dengan senjata tajam dan membiarkan tubuh gadis kecil itu meninggal di dapur. Sejak itu rumah Van Ross dibiarkan begitu saja, kakek juga tidak dapat berbuat apa-apa. Kakek tidak mempunyai kontak kepada kakak-kakak Benyamin di Belanda. Mereka juga tidak pernah lagi datang ke sini. Satu per satu furniture di rumah itu diambil orang, hingga tidak ada yang tersisa. Hingga hari ini rumah itu terbengkalai, bahkan sampai saat ini belum ada kejelasan lagi tentang kasus perampokan dan pembunuhan keluarga Benyamin Van Ross.” Raphael hanya terdiam ketika kakeknya selesai menceritakan tentang rumah tua disebelah rumah mereka. Kakeknya tersenyum melihat Raphael, katanya; “kenapa kamu tiba-tiba tertarik dengan rumah sebelah?” Raphael menjawab; “tidak apa-apa, hanya penasaran saja. Sebab di sepanjang jalan ini, hanya rumah itu saja yang tidak terawat.” Mendengar hal itu kakeknya kembali tersenyum, dan melanjutkan “sekarang kamu sudah tahu sejarah rumah itu. Naah.. ayo habiskan kue dari tante-mu itu”. Kakek bangun dan berjalan masuk ke kamarnya dan Raphael lanjut duduk di depan TV. Pikirannya terus membayangkan rumah tua disebelah, “Jadi hantu anak itu namanya Sonya” kata Raphael dalam hati, “Kenapa Sonya masih menghantui rumah itu?” Raphael masih bertanya-tanya dalam hati. Rumah tua disebelah tambah menjadi misteri untuk Raphael..



Continue Reading